Sabtu, 20 September 2014

Usaha Kreatif – Abon Ikan Nila Jatiluhur

Abon Ikan Nila Komariah
Peluang bisnis dari sektor pertanian/ perikanan selalu terbuka lebar, baik dari hasil pertanian/perikanan itu sendiri, maupun dari pengolahan dasil pertanian/perikanan. Hasil pertanian/perikanan yang kurang kompetitif nilainya, membuka peluang untuk mendapatkan nilai lebih melalui pengolahan lebih lanjut sebagaimana yang dilakukan Komariah (36), yang hanya lulusan SD, berikut ini.
Cerita ibu Komariah ini membangun kesadaran bagi kita semua, bahwa jiwa kewirausahaan ada di mana-mana, di pelosok sekali pun, dan tak mengenal usia, dan bahkan pendidikan. Ada dorongan halus yang menggerakkan, dan ada semangat besar yang terus mempertahankan jiwa kewirausahaan tersebut. Apakah itu? Mungkin kejelian menangkap peluang atau ada penjelasan lain?
Produksi ikan nila (Tilapia nilotika) dari Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, terbilang melimpah. Setiap hari, puluhan hingga ratusan ton nila dipanen dari petak-petak keramba jaring apung di waduk tersebut.
Hasil panen nila lebih banyak dibanding jenis ikan lain yang dibudidayakan, yaitu mas dan patin jambal. Selain relatif tahan terhadap serangan penyakit, nila memakan sisa pakan ikan mas sehingga ongkos produksinya lebih murah. Karena itu, pembudidaya menebar nila secara tumpang sari dengan ikan mas di satu petak kolam yang sama.
Peluang itu yang kemudian ditangkap Komariah (36), meskipun pendapatan Warisno (40), suaminya, sebagai pembudidaya ikan di Waduk Jatiluhur relatif cukup. Menurut warga Kampung Tegalbuah, Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta itu, selain jumlah yang melimpah, nila masih dianggap sebagai ikan ”nomor dua” sehingga layak diolah dan ditingkatkan nilai ekonominya. Sebagai perbandingan, harga nila segar hanya Rp 8.000-Rp 8.500 per kilogram ketika harga ikan mas Rp 10.000-Rp 11.000 per kg.
Dengan berbekal pengetahuan seadanya, Komariah yang lulusan SDN Cimahi I, Purwakarta, mulai mengolah daging nila pada tahun 2000. Ketika itu, sebagian besar ikan hasil budidaya Waduk Jatiluhur dijual segar ke pasar tradisional dan swalayan di Purwakarta, Bandung, Jakarta, dan sekitarnya. Hanya sebagian kecil yang diolah menjadi ikan asin.
”Pelatihan pembuatan abon ikan dari Dinas Perikanan selesai tanpa tindak lanjut. Karena itu, saya mencoba membuat abon sendiri dengan peralatan seadanya di rumah,” papar Kokom, panggilan Komariah.
Ibu beranak tiga itu menawarkan abon buatannya kepada pengunjung obyek wisata Waduk Jatiluhur. Beragam komentar ia tampung untuk perbaikan.
Kapasitas produksi abon ikan Komariah kini mencapai 75 kg per minggu dengan harga jual Rp 75.000 hingga Rp 80.000 per kg. Selain ikan nila, ia juga telah memproduksi abon ikan patin jambal. Sebagian besar dipasarkan di warung-warung pedagang di obyek wisata Waduk Jatiluhur. Sisanya dijual di koperasi sejumlah instansi di lingkungan pemerintah Kabupaten Purwakarta atau Departemen Kelautan dan Perikanan.
Peralatan
Seusai mengikuti pelatihan di Dinas Perikanan pada tahun 2000, lanjutnya, sebagian peserta dari Desa Kembang Kuning dan Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, menganggur karena keterbatasan alat dan modal. Tetapi, Kokom tidak menyerah dengan keadaan itu.
Salah satu proses paling sulit adalah memeras daging ikan goreng menjadi abon. Menurut dia, butuh alat penekan berkekuatan besar untuk memeras minyak dan menghasilkan abon berkualitas.
”Dari tahun 2000 hingga 2003, saya menggunakan seuseupan (alat pengukus berbahan bambu berbentuk kerucut yang biasa dipakai membuat nasi tumpeng) yang sekali pakai langsung rusak, ha-ha-ha,” kenang dia.
Warisno turut memutar otak membantu permasalahan istrinya. Dia membuat tulang-tulang bambu untuk memperpanjang umur seuseupan, tetapi tidak berhasil. Tiga seuseupan bertulang rusak setelah digunakan memeras 20 kilogram daging ikan.
Tahun 2003 Kokom mendapat bantuan alat dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta. Sejak itu, produksinya meningkat dari sekitar 50 kilogram menjadi 75 kg per minggu. Kualitas abon pun meningkat karena minimnya kandungan minyak serta daya tahan simpan lebih lama.
Penghargaan
Usaha Kokom dinilai prospektif dan membantu mengurangi pengangguran di lingkungan tempat tinggal. Karena itu, bantuan dari sejumlah instansi berdatangan. Hingga akhir 2007, Kokom telah memiliki empat alat pemeras minyak, penghancur bumbu, pemarut kelapa, serta alat pengepak plastik.
Atas keberhasilan itu, Komariah meraih sejumlah penghargaan. Akhir 2005 Komariah dinobatkan sebagai pengusaha terbaik I Global Microentrepreneurship Award 2005 dari Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk kategori pengusaha beraset di bawah Rp 5 juta.
Tahun 2006, Kokom mendapat penghargaan dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI untuk pengabdian kewirausahaan, dari Gubernur Jawa Barat, serta sejumlah pejabat di tingkat Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Purwakarta.
Kini, Kokom tidak lagi berkutat pada upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, tetapi pemasaran. Untuk menambah wawasan dan memperluas jaringan, Kokom bergabung dengan Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro (AIKMA) Purwakarta.
Hasilnya belum terlalu signifikan mendongkrak penjualan, tetapi abon ikan nila buatan Kokom berhak menggunakan kemasan khusus bertuliskan ”makanan khas Purwakarta” yang dicetak Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dan AIKMA Purwakarta.
Komariah dan Warisno masih berangan suatu saat abon ikan nila dan patin buatannya terus berkembang dan menjadi oleh-oleh khas Purwakarta.
”Kelak bukan hanya simping dan manisan pala yang dibeli untuk oleh-oleh, tetapi juga abon ikan. Amin,” ujar Kokom berharap.
Berbagi Pengetahuan
Komariah tidak sungkan membagi pengetahuan dan pengalamannya. Racikan bumbu yang oleh sebagian pengusaha makanan sangat dirahasiakan, justru ia sebarluaskan kepada siapa saja yang membutuhkan.
Ia yakin, kualitas rasa tidak diperoleh dari proses instan, tetapi melalui pencarian, penelitian, dan uji coba terus-menerus. Dengan keyakinan itu, ia tidak khawatir membagi resep.
Usai pelatihan pembuatan abon tahun 2000, tak banyak peserta yang mencoba usaha itu. Dari 20-an peserta, hanya beberapa orang yang tetap membuat abon di rumah, termasuk Kokom, panggilan Komariah. Sebagian besar ”tumbang” karena kesulitan modal dan memasarkan abon.
Ketika usaha yang digeluti Kokom membuahkan hasil, beberapa mantan peserta pelatihan tertarik kembali membuat abon ikan. Sebagian di antaranya belajar lagi kepada Kokom.
Kini telah terbentuk dua kelompok binaan, yaitu Kelompok Anggrek I di Kampung Tegabuah dan Anggrek II di Kampung Serpis, Desa Jatimekar. Semua anggota berjumlah 20-an orang. ”Mereka siap membuat kapan pun dibutuhkan,” jelas dia.
Memang, selain di rumah Komariah, sebagian mesin bantuan Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Purwakarta tersebar di Kelompok Anggrek I dan Anggrek II.
Para anggota juga terlibat dalam pemasaran. Mereka menjual abon ikan nila dalam beragam ukuran kemasan ke pedagang-pedagang di sekitar obyek wisata Waduk Jatiluhur serta instansi Pemerintah Kabupaten Purwakarta.
Sayangnya, pemasaran abon ikan nila terpengaruh daya beli masyarakat yang menurun akhir-akhir ini. Menurut Kokom, sulit menjual abon dengan harga Rp 75.000 per kilogram. Karena itu, ia mengemas abon dengan ukuran 20 ons dan dijual dengan harga Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per kemasan. (Kompas/MKN)
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan untuk komentar, pertanyaan, saran atau kritik dengan tidak mengandung isu SARA dan POLITIK

Posting Baru Posting lama Beranda