Tampilkan postingan dengan label PJT II. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PJT II. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 November 2014

Rumah Eks Proyek Jatiluhur

Perjuangan yang belum juga berakhir....

Proyek Bendungan Jatiluhur
Berawal pada pertengahan tahun 2012, suasana tenang dan damai warga Jatimekar terutama penghuni rumah dinas PJT II (rumah eks Proyek Jatiluhur) tiba-tiba terusik oleh beredarnya Surat Keputusan Manajemen PJT II mengenai penertiban rumah/ bangunan yang dihuni oleh para pensiunan dan atau anak-anak pensiunan PJT II (dulu POJ). Didalam surat tersebut yang sebenarnya ditujukan untuk kalangan PJT II namun dapat beredar luas di masyarakat tersebut menyebutkan bahwa penghunian rumah dinas yang pensiunannya (suami dan istri) sudah meninggal dunia, agar segera dikosongkan tanpa ada ganti rugi apapun.
Sesuatu yang sangat tidak dimengerti oleh para pensiunan yang masih ada, disaat seharusnya mereka hidup damai menikmati masa tuanya tiba-tiba harus menerima berita yang tidak mengenakkan seperti itu.

Kamis, 23 Oktober 2014

Perumahan Eks. Proyek Jatiluhur

Benarkah perumahan yang sekarang dihuni oleh pensiunan POJ ( sekarang PJT II) adalah bekas peninggalan Proyek Jatiluhur atau bekas rumah untuk tenaga kontrak dari Perancis ?

Ini dia penampakannya :
Photo Pembangunan Waduk Jatiluhur (terowongan)

Permasalahan Rumah, Air dan Listrik

Baru saja di adakan pertemuan antara Manajemen PJT II dengan penghuni rumah dinas eks. Proyek Jatiluhur di lingkungan Desa Jatimekar, yang diwakili oleh Kepala Desa Jatimekar.
Pertemuan yang dilaksanakan tepatnya hari ini tanggal 23 Oktober 2014 jam 09.00 WIB dan bertempat di Kantor Pusat PJT II tersebut, pihak manajemen PJT II menawarkan solusi terkait adanya permasalahan Rumah Dinas, pembayaran Listrik dan Air, sebagaimana berikut ini :

I. Masalah Penghunian Rumah Dinas
SOLUSI YANG DITAWARKAN OLEH MANAJEMEN PJT II :
  • Bagi para penghuni Rumah Perusahaan (Rumah Jabatan maupun Rumah Dinas), membuat surat pernyataan dan permohonan kepada manajemen PJT II.
  • Bagi Umum/ Anak/ Menantu/ Cucu diberlakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (tidak diperkenankan menempati Rumah Jabatan/ Rumah DInas/ Mess) atau tetap harus DIKOSONGKAN.
Dengan alasan-alasan sebagai berikut :

Rabu, 08 Oktober 2014

Kegiatan Program Kemitraan PJT II Tahun 2014


Narasumber dari PJT II dan STIE DR.KHEZ.Muttaqien

PJT II melaksanakan acara kegiatan Pembinaan Usaha Kecil Mitra Binaan PJT II Tahun 2014 Tahap I yang dilaksanakan pada tanggal 15 September 2014, bertempat di Gedung Grha Vidya Jatiluhur. 
Pada acara tersebut dilakukan pula penyerahan pinjaman tambahan modal usaha kerja tahun 2014 Tahap I kepada kelompok usaha/ perseorangan yang merupakan mitra binaan PKBL (program Kemitraan dan Bina Lingkungan) PJT II.
Pembinaan kali ini mendatangkan Narasumber dari Kepala Biro Keuangan PJT II, Oyok Mustikasari yang memaparkan “Peranan Perum Jasa Tirta II dalam mendukung tambahan modal kepada usaha kecil, menengah dan koperasi serta Program Bina Lingkungan” sedangkan Yanti Ariani, Kasubag Perjanjian Bagian Hukum menjelaskan mengenai “Perjanjian dalam Program Kemitraan PJT II”. Narasumber dari STIE DR. KHEZ MUTTAQIEN Purwakarta, Dedeng Abdul Gani lebih menjelaskan mengenai “Kewirausahaan” serta Agus Selamet mengenai “Pemasaran”.

Senin, 22 September 2014

Kepedulian PJT II-Distribusikan Air Bersih

SUKASARI-Melalui Program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) PJT II menyalurkan dana CSR dengan melaksanakan pendistribusian air bersih ke Desa Kutamanah Kecamatan Sukasari. Hal itu dilakukan PJT II setelah menerima surat permohonan bantuan air bersih dari pihak Pemdes Kutamanah khususnya dusun II.Menyikapi permohonan warga tersebut, PJT II akhirnya mengirimkan bantuan air bersih ke rumah rumah warga dan penampungan air milik bersama masyarakat.Kepala Unit PKBL Warsa bersama Humas PJT II diketahui sejak Rabu (13/9) lalu hingga beberapa hari ke depan terus melakukan pendistribusian air bersih ke desa tersebut.

Sabtu, 20 September 2014

Pahlawan Teraniaya

 

SURAT TERBUKA
Pahlawan teraniaya

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan gambar diatas, pembangunan proyek Bendungan Jatiluhur, 52 tahun yang lalu.
Perhatikan orang-orang yang di dalam photo tersebut. Siapakah mereka?
Saya tidak kenal dengan mereka....generasi yang sekarang tentu tidak akan mengenalnya...namun saya tahu mereka telah sangat berjasa, tidak saja bagi kita yang tinggal di Jatiluhur atau Purwakarta...bahkan berjasa bagi bangsa. Proyek Jatiluhur dibangun dengan maksud yang sangat mulia, dimana sejak mulai dioperasikannya, sekitar 240,000 ha lahan persawahan dapat hidup dari air yang ditampung Bendungan Jatiluhur hingga sekarang. Sehingga berdampak tidak saja menguntungkan para petani, namun beras yang dihasilkannya telah menggerakkan roda perekonomian bagi masyarakat luas. Dengan adanya Bendungan Jatiluhur orang-orang Jakarta tidak lagi kesulitan bahan baku air minum. Begitu pula dengan energi listrik yang dihasilkan, sudah beribu-ribu bahkan berjuta orang menikmatinya.

Selasa, 09 September 2014

Profil Perum Jasa Tirta II


Profil Perusahaan
BUMN Indonesia Kementrian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Perum Jasa Tirta II
Jl. Lurah Kawi, Jatiluhur - Purwakarta - Jawa Barat
Telp. (62-264) 201 972, Fax. (62-264) 201 972
Website : www.jasatirta2.co.id
Kepemilikan / Ownership : Pemerintah / Government 100%


Sekilas Perseroan

Perum Jasa Tirta II (“PJT II”) didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1967 dengan nama Perusahaan Negara (PN) Djatiluhur. Berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 1970 juncto PP No 35 Tahun 1980, Perusahaan Negara (PN) Djatiluhur berubah status menjadi Perum Otorita Jatiluhur (POJ).

Sejarah Pembangunan Bendungan Jatiluhur


1.  Gambaran Umum

Bendungan adalah setiap penahan buatan, jenis urugan batu atau jenis lainnya, yang menampung air atau dapat menampung air baik secara alamiah maupun buatan, termasuk pondasi, bukit/tebing tumpuan, serta bangunan pelengkap dan peralatannya. Dalam pengertian ini termasuk juga bendungan limbah galian tetapi tidak termasuk bendung dan tanggul. Dari segi konstruksi bendungan terdiri dari
bendungan urugan dan bendungan beton. Bendungan urugan terdiri dari bendungan urugan serba sama (homogenous), bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di dalam tubuh bendungan (claycore rockfill dam, zone dam) dan bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (concrete face rockfill dam). Sedang bendungan beton terdiri dari bendungan beton berdasar berat sendiri (concrete gravity), bendungan beton dengan penyangga (buttress dam), bendungan beton berbentuk lengkung (concrete arch dam), dan bendungan beton berbentuk lebih dari satu lengkung (multiple arch dam) (sumber KNI-BB). Berdasarkan ukurannya Bendungan Jatiluhur termasuk ke dalam bendungan besar.
Air yang ditampung akibat dibangunnya bendungan biasanya digunakan untuk irigasi, pasok air baku untuk air minum, industri dan perkotaan, perikanan serta pembangkitan listrik. Manfaat lain bendungan adalah untuk pengendalian banjir dan pariwisata. Disamping untuk menampung air, bendungan juga dibangun untuk menampung material lain, seperti buangan / limbah pertambangan dan lahar dingin. Bendungan untuk menahan lahar dingin disebut juga bendungan sabo (sabo dam).
Setelah perang Dunia Kedua, terkait dengan peningkatan populasi yang tajam, kebutuhan pangan dan listrik, baik untuk rumah tangga maupun industri, meningkat pesat. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan pembangunan bendungan besar di utara Provinsi Jawa Barat, untuk memenuhi penyediaan pangan dan listrik tersebut.
Selama masa pelaksanaan, proyek pembangunan ini dinamakan “Jatiluhur Multipurpose Project” dan setelah penyelesaiannya dinamakan menjadi Bendungan dan Pembangkit Listrik Juanda, sebagai kenang-kenangan atas peran Perdana Menteri terakhir Indonesia Ir. H. Djuanda dalam terwujudnya pembangunan Bendungan Jatiluhur.
Pada dasarnya proyek pembangunan Bendungan Jatiluhur dibuat untuk keperluan irigasi dan listrik, namun memiliki tujuan lainnya, yakni pasok air baku, pengendalian banjir, penggelontoran kota, perikanan darat, dan pariwisata.

2. Lokasi Bendungan Jatiluhur
Bendungan Jatiluhur berjarak kurang lebih 100 km arah Tenggara Jakarta, yang dapat dicapai melalui jalan tol Jakarta Cikampek dan jalan tol Cipularang (ruas Cikampek – Jatiluhur), dan 60 km arah Barat Laut Bandung, yang dapat dicapai melalui jalan tol Cipularang (ruas bandung – Jatiluhur). Dari Kota Purwakarta sekitar 7 km arah barat. Berdasarkan koordinat geografis, posisi Tubuh Bendungan Jatiluhur berada pada 6o31’ Lintang Selatan dan 107o23’ Bujur Timur. Kotak merah pada gambar kiri menunjukkan posisi Bendungan Jatiluhur pada peta.
Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di Indonesia, membendung aliran Sungai Citarum di Kecamatan Jatiluhur – Kabupaten Purwakarta – Provinsi Jawa Barat, membentuk waduk dengan genangan seluas ± 83 km2 dan keliling waduk 150 km pada elevasi muka air normal +107 m di atas permukaan laut (dpl).  Gambar 3-5 adalah denah area Waduk Jatiluhur sebelum dan sesudah penggenangan. Luas daerah tangkapan Bendungan Jatiluhur adalah 4.500 km2. Sedangkan luas daerah tangkapan yang langsung ke waduk setelah dibangun Bendungan Saguling dan Cirata di hulunya menjadi tinggal 380 km2, yang merupakan 8% dari keseluruhan daerah tangkapan. Daerah tangkapan (upper Citarum) meliputi wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta. Pada Awalnya dirancang memiliki kapasitas tampungan 3 milyar m3, namun saat ini tinggal 2,44 milyar m3 (hasil pengukuran batimetri tahun 2000) akibat sedimentasi. Namun demikian setelah dibangun Bendungan Saguling dan Cirata di atasnya, laju sedimentasi semakin menurun. Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan multiguna, dengan fungsi sebagai pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 187,5 MW, pengendalian banjir di Kabupaten Karawang dan Bekasi, irigasi untuk 242.000 ha, pasok air untuk rumah tangga, industri dan penggelontoran kota, pasok air untuk budidaya perikanan air payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20.000 ha, dan pariwisata.

3.  Sungai Citarum
Sebagai sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat, mengalir sepanjang lebih kurang 270 km dari mata air di Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, sampai muaranya di Laut Jawa dengan melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, membagi daerah administrasi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede ke hilir dan berakhir dari Muara Gembong sebagai muara Sungai Citarum ke Laut Jawa. Sungai Citarum memiliki volume aliran tahunan rata-rata 5,5 milyar m3, luas DAS 6.600 km2. Memiliki tinggi curah hujan tahunan rata-rata 2.353 mm, dengan 80% hujan jatuh pada periode November – Mei.
Sungai Citarum dengan beberapa sungai lainnya di Jawa Barat bagian utara, yaitu: Ciherang, Cilamaya, Cijengkol, Ciasem, Cigadung, Cipunegara, dan Cilalanang membentuk suatu wilayah hidrologis yang terintegrasi, dengan satuan hidrologis seluas 1.100.000 ha. Gambar di bawah ini adalah Mata Air Pangsiraman, yakni salah satu dari tujuh mata air Sungai Citarum yang berada di Gunung Wayang – Ciwidey. Nama keenam mata air Sungai Citarum lainnya adalah Cikahuripan, Cikawedukan, Cisanti, Cikaloberes, Cisadane/Cihaliwung dan Cikadugalan/Cipaedah. Ketujuh mata air ini berada pada area Situ Cisanti yang memiliki ketinggian +2.180 m dpl.

4. Gagasan Pembangunan Bendungan
Gagasan pembangunan bendungan di Sungai Citarum dudah dimulai pada abad ke-19 oleh para ahli pengairan pada waktu itu dengan telah dilakukannya survey awal antara lain survey topografi dan hidrologi. Bahkan pengukuran debit Sungai Citarum untuk keperluan bendungan dan irigasi telah di mulai pada tahun 1888.
Gagasan pembangunan tersebut kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein, seorang ahli pengairan Belanda pada tahun 1930. Gagasan ini untuk pertama kali dipresentasikan pada pertemuan tahunan Persatuan Insinyur Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut van Ingenieurs atau KIVI) tanggal 18 Desember 1948 di Jakarta dengan judul “Een Federaal Welvaartsplan voor het Westelijk Gedeelte van Java”. Ketika itu, Prof. Ir. W.J. van Blommestein, Kepala Perencanaan Jawatan Pengairan Belanda, sudah melakukan survey secara lebih rinci untuk membuat rencana pembangunan tiga waduk besar di sepanjang aliran sungai Citarum; Saguling (sebelumnya dinamakan Waduk Tarum oleh Prof. Ir. W.J. van Blommestein), Cirata dan Jatiluhur.
Selanjutnya Prof. W.J. van Blommestein  sampai kepada sebuah gagasan dimana selain potensi tiga waduk di Sungai Citarum, juga ada potensi pengembangan antar Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk sungai-sungai di Pulau Jawa, yang dikenal dalam tulisannya berjudul “A Development Project for the Island of Java and Madura” pada Agustus 1979. Gagasannya waktu itu adalah Jatiluhur hanya dikembangkan untuk kepentingan irigasi dan pembangunan kanal untuk transportasi air dari Anyer sampai Surabaya melewati Solo.
Prof. Ir. Wilem Johan van Blommestein lahir di Kertasura Kota Solo tanggal 15 Mei 1905 dan meninggal pada tanggal 11 Agustus 1985. Kuliah di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1924 dan lulus dengan mendapar gelar insinyur pada tahun 1928. Pada ini juga beliau langsung ditugaskan ke wilayah afdeling Karawang. Setahun kemudian beliau pindah ke Purworejo, bekerja sebagai insinyur dibidang keirigasian. Tahun 1931 sampai 1934 beliau bertugas di Yogyakarta.
Karya lainnya adalah salah satu bendungan terbesar di dunia yang dibangun di Suriname, yang kemudian diberi nama Bendungan Blommestein. Bendungan ini memiliki luas genangan 1.560 km2, dengan tinggi 54 m. Panjang puncak bendungan keseluruhan 12.000 m. Luas daerah tangkapan 12.000 km2. Bendungan mulai dibangun tahun 1960 dan selesai tahun 1964.
Gagasan Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein kemudian dikaji ulang oleh Ir. Van Scravendijk tahun 1955 dengan tulisan berjudul “Integrated Water Resources Development in Citarum River Basin” (240,000 ha sawah). Gagasan ini kemudian dilengkapi oleh Ir. Abdullah Angudi tahun 1960 melalui nota pengelolaan sehingga menjadi Rencana Induk Pengembangan Proyek Serbaguna Jatiluhur.
Gagasan untuk membangun sebuah bendungan di aliran sungai Citarum dirintis kembali pada era tahun 1950-an. Ir. Agus Prawiranata sebagai Kepala Jawatan Irigasi waktu itu mulai memikirkan pengembangan jaringan irigasi untuk mengantisipasi kecukupan beras dalam negeri. Ketika itu, Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia. Namun untuk membangun bendungan dengan skala besar, ketika itu masih menjadi  bahan tertawaan, karena Pemerintah RI belum punya uang.
Lalu ide ini dibahas bersama Ir. Sedyatmo, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Direksi Konstruksi Badan Pembangkit Listrik Negara, Direktorat Jenderal Ketenagaan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Kebetulan waktu itu PLN punya anggaran dan memang sedang berupaya mencari pengganti sumber daya listrik yang masih menggunakan minyak, karena memang mahal. Lalu, Ir. Sediyatmo menugaskan Ir. P.C. Harjosudirdjo (sekarang; Prof. DR. Ir. P.K. Haryasudirja) ketika itu sebagai Asisten Kepala Direksi Konstruksi PLN, untuk merancang Bendungan Jatiluhur ini.
Sebelum pembangunan Bendungan Jatiluhur, bagian utara Provinsi Jawa Barat telah dibangun beberapa prasarana sumber daya air, seperti Bendung Walahar, Pundong, Salamdarma, Barugbug dan sebagainya. Namun masing-masing prasarana sumber daya air tersebut belum terintegrasi dan sebagaimana fungsi bendung, tidak dapat menampung air dimusim hujan sehingga pada musim hujan selalu banjir dan kekeringan pada musim kemarau. Intensitas tanam (crop intensity) hanya 1, yakni 1 kali tanam setahun. Kemudian daerah pertanian tersebut sebagian besar dikuasai para tuan tanah, dan petani sebagian besar adalah penggarap yang tidak memiliki tanah.
Hal penting yang juga menjadi pertimbangan saat itu, menurut Prof. DR. Ir. P.K. Haryasudilja, ketika itu sebagai Asisten Urusan Jatiluhur yang menangani urusan perencanaan maupun pelaksanaan pembangunannya, adalah pertimbangan suplai air ke Jakarta. Ketika itu pelabuhan Tanjung Priok tak pernah disinggahi kapal-kapal asing, karena tidak cukup air untuk perbekalan kapal. Sehingga kegiatan ekspor-impor dari Tanjung Priok tersendat. Haryasudirja yang membuat spesifikasi bendungan Jatiluhur, mengaku meniru gaya bendungan terbesar di dunia, yaitu bendungan Aswan di Mesir. Menggunakan konsultan dari Perancis yang sudah berpengalaman dalam membangun bendungan besar.

5.  Masa Pembangunan Bendungan Jatiluhur
Bendungan ini mulai dibangun pada tahun 1957 ditandai dengan  peletakkan batu pertama pembangunan oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno.
32
Peresmian Peletakan Batu Pertama Pembangunan Bendungan Jatiluhur Oleh Presiden Pertama RI  Ir.H.Soekarno (1957)

Masa pembangunan Proyek Jatiluhur terbilang unik, sebab sempat mengalami sembilan kali pergantian kabinet dari Kabinet Karya Tahun 1957 sampai Kabinet Ampera Tahun 1967.
Menteri-menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga pada masa pembangunan Bendungan Jatiluhur adalah Ir. Pangeran Mohamad Noor, Ir. Sardjono Dipokusumo, Mayjen D. Suprayogi, dan Dr. Ir. Sutami. Tahun 1965 Menteri PUT dalam kompartemen Pembangunan Mayjen D. Suprayogi membawahi 6 kementerian yaitu: Kementerian Listrik dan Tenaga Ir. Setiadi Reksoprodjo, Menteri Pengairan Dasar Ir. Petrus Kanisius Hardjosudirdjo, Menteri Binamarga Mayjen Hartawan Wirjodiprodjo, Menteri Ciptakarya dan Konstruksi David Cheng, Menteri trans Sumatera Ir. Bratanata dan Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir. Sutami.
Hal yang perlu dicatat dari periode pembangunan ini adalah Perancis tidak pernah menyelesaikan pembangunan Bendungan Jatiluhur. Pada tanggal 15 Oktober 1965, yakni 15 hari setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI, para tenaga ahli asing kembali ke negaranya. Pada saat itu sebagian konstruksi menara pelimpah utama bagian atas belum selesai dan Bendungan pelana Pasirgombong Barat dan timur sama sekali belum dibuat. Penyelesaian pekerjaan yang tersisa tersebut dilaksanakan secara swakelola oleh tenaga ahli dari Indonesia dengan memanfaatkan peralatan yang ditinggalkan.
Namun demikian pada saat peresmian Bendungan Jatiluhur oleh Presiden Soeharto, pekerjaan masih belum selesai seratus persen. Pelimpah pembantu (auxiliary) yang berada di tumpuan kiri Bendungan Pelana Ubrug belum sesuai dengan rencana awalnya, yakni penggunaan pintu radial pada kedua jendelanya. Hal ini disebabkan biaya untuk penyelesaian tidak tersedia lagi.
Agar Bendungan Jatiluhur dapat beroperasi sesuai rencana, pada keempat jendela pelimpah pembantu Ubrug dibuat beton lunak lengkung yang puncaknya mencapai elevasi +111,6 m, yakni elevasi banjir maksimum. Pelimpah pembantu Ubrug dioperasikan dengan cara meledakkan beton lunak lengkung. Namun demikian selama operasi Bendungan Jatiluhur, pelimpah pembantu tersebut belum pernah dioperasikan.
Untuk mengenang jasa Ir. H. Djuanda (nama lengkap Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja) dalam memperjuangkan pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur, bendungan ini dinamakan secara resmi Bendungan Ir. H. Djuanda. Beliau adalah Perdana Menteri RI terakhir dan memimpin kabinet Karya (1957 – 1959). Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sebelumnya pernah menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Bersama-sama dengan Ir. Sedyatmo, beliau dengan gigih memperjuangkan terwujudnya Proyek Bendungan Jatiluhur di Pemerintah Indonesia dan forum internasional (lihat : Tentang Ir. H. Djuanda).
Berikut adalah tenaga ahli/insinyur periode awal pembangunan Bendungan Jatiluhur:
1. Ir. Patti (tidak sampai selesai)
2. Ir. Masduki Umar
3. Ir. Ahmad Musa
4. Ir. Donardi Senosarto
5. Ir. Sutopo
6. Ir. Sudarjo
7. Ir. Asban Basiran (saat ini masih membantu Direksi PJT II sebagai Tenaga Senior dibidang Bendungan)
8. Ir. Samsiar

6. Demografi Daerah Genangan
Genangan yang terjadi akibat pembangunan Bendungan Jatiluhur menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk berjumlah 5.002 orang. Penduduk tersebut kemudian sebagian dipindahkan ke daerah sekitar bendungan dan sebagian lainnya pindah ke Kabupaten Karawang. Sebagian besar penduduk waktu itu bekerja sebagai petani.

7. Produksi Listrik
Produksi listrik pertama dimulai pada tahun 1965 dan disalurkan ke Bandung melalui Saluran udara tegangan tinggi 150 kV milik PLN. Penyaluran ke Jakarta baru dilakukan pada tahun 1966. PLTA unit VI baru dipasang oleh PT. PLN Pikitdro Jabar antara tahun 1979 – 1981 dengan kapasitas 32 MW.



Posting lama Beranda